Assalamu'alaikum ya akhi ya ukhti ;)

Sabtu, 28 Juli 2012

Langkah-Langkah Menginstal XAMPP 1.7.7

Langkah-Langkah Menginstal XAMPP 1.7.7

1. Saat pertama kali menginstal, KLIK file installer XAMPP 1.7.7


2. Lalu muncul tampilan seperti di bawah ini. Tunggu Setupnya sampai 100%


3. Kemudian, Pilih bahasa yang akan digunakan untuk aplikasi ini yaitu English. Dan OK



4. Selanjutnya klik NEXT


5. Pilih dimana lokasi File instalnya. Lalu Klik NEXT



6. Klik Instal


7. Lalu tunggu sampai selesai


8. Instal complete dan klik FINISH


9. Alhamdulillah instalasi suksesJ untuk memulai sekarang bisa dengan klik YES

10. Inilah tampilan aplikasi XAMPP


11.untuk menjalankan apache dan mysql, tekan start




SELAMAT MENCOBA J

Selasa, 20 Desember 2011

Liputan Khusus Diskusi Aktual “Perempuan-Perempuan Koruptor”

saya mohon maaf kepada para pembaca yang sudah lama menunggu laporan hasil diskusi, yang biasanya saya tulis dengan judul standar pada awal setiap tema “Liputan Khusus Diskusi Aktual”. Ya, tema yang didiskusikannya aktual, tapi ketika menulis laporannya jadi tidak aktual karena lebih banyak telatnya. Bahkan hampir menjelang diadakannya diskusi aktual pekan berikutnya. Seperti saat tulisan ini dibuat, saya masih berkutat menyelesaikannya ketika hari sudah memasuki Senin, hampir seminggu sejak diskusi digelar. Ini memang ‘kebiasaan’ saya yang sulit mencari waktu (alasan sih hehehe) karena banyak kegiatan lain yang juga memerlukan perhatian. Insya Allah nulisnya sih cepat. Rata-rata hanya satu setengah jam hingga dua jam, tapi saya selalu kerepotan ketika harus membagi waktu dan ukuran prioritas dengan kegiatan lainnya.
Contohnya, ketika selesai hari Rabu sore diskusi, saya tidak langsung menuliskannya. Sebabnya, setelah sampai di rumah saya malah harus berpindah pada tugas berikutnya. Menyiapkan bahan-bahan untuk siaran Kuliah Subuh bersama Pesantren Media di Radio MARS 106 FM Bogor esok harinya. Kamis pagi hingga siang saya harus maintenance beberapa website yang saya tangani sekaligus menyiapkan bahan untuk kajian Problem Anak Muda di Pesantren Media sore harinya. Selesai urusan di Pesantren Media tersebut, saya tak langsung pulang, tapi rutin menyambangi studio MARS 106 FM untuk menemani teman (termasuk juga harus siaran jika jadwalnya giliran saya) sekaligus memantau siaran Taman Curhat Remaja. Ini bisa berlangsung hingga di atas pukul 22.00 WIB. Maka  ketika sampai di rumah waktu sudah menunjukkan pukul 23-an. Walhasil karena tenaga sudah terkuras maka saya langsung menuju tempat tidur. Esoknya saya harus mengajar di Depok dari pagi hingga sore hari. Petang hari sampai rumah dan siap mengajar kelas menulis online yang saya kelola selama ini di website menuliskreatif.com. Tutorial berlangsung hingga pukul 22.00 WIB.

Esok harinya, antara waktu shubuh hingga menjelang jam 7 pagi biasanya gangguannya sangat banyak. Umumnya disebabkan oleh anak keempat saya,Thariq (usia satu tahun dua bulan), yang selalu ingin berdekatan dengan saya ketika sedang di depan komputer sambil minta ditayangkan film seputar fauna. Halah. Menjelang pukul 8 pagi saya harus berkemas untuk ikut kajian Tafsir al-Quran dan Hadits bersama Ustadz Dr Abdurrahman al-Baghdadi yang memang rutin setiap Sabtu pagi, diikuti juga di antaranya oleh para santri saya di Pesantren Media. Acara ini berlangsung hingga pukul 10. Siangnya, sebenarnya ada waktu yang kosong, tetapi keluarga saya juga minta diperhatikan. Ya sudahlah, hingga sore hari waktu itu saya sediakan buat keluarga.
Menjelang maghrib malam minggu kemarin setelah saya mengantar kedua anak lelaki saya ke Pesantren Darut Tsaqafah untuk belajar, sebenarnya sudah saya siapkan waktu untuk menulis liputan khusus ini. Eh, saya mendapat telepon dari kawan yang mengeluh rencana ke Jakarta beli komputer pada minggu pagi terancam batal gara-gara teman yang mau mengantar dirinya tak jua merespon setelah di-SMS dan juga ditelepon. Dia bad mood dan akhirnya saya mencoba menawarkan bantuan untuk menemani dia membeli komputer di Bogor saja. Maka, setelah disepakati, berangkatlah kami berdua ke Jambu Dua. Malam mingguan di mal deh jadinya.
Sampai di rumah waktu sudah menunjukkan pukul 21 lebih sedikit. Meski agak lelah saya harus menyiapkan materi presentasi untuk Workshop Jurnalistik di MAN 1 Jakarta untuk esok harinya. Hingga tengah malam barulah saya beranjak ke tempat tidur. Hari minggu dari pagi hingga malam full juga. Meski cuma mengisi acara dari pukul 10 hingga pukul 12, tapi karena acaranya di Jakarta maka pukul 7 saya sudah ada di stasiun kereta Bogor dan sampai di stasiun Bogor lagi menjelang Ashar. Tak langsung pulang ke rumah karena siang harinya istri saya kirim SMS mengabarkan bahwa dia dan anak-anak pergi ke MediaIslamNet, tepatnya untuk ikut mengantar kedua anak saya berlatih seni di Sanggar Kreativitas Anak dan Remaja Al-Hambra. Saya sudahlah, akhirnya saya jemput pada pukul 5 sore ke sana. Sampai rumah sepuluh menit menjelang maghrib. Bersih-bersih dan kemudian berangkat mengisi kajian rutin kru gaulislam setelah shalat maghrib berjamaah di mushola dekat rumah.
Mengisi kajian yang berubah waktu memang agak repot (biasanya ahad pagi), apalagi malam hari adalah waktu sisa. Namun saya salut dengan kawan-kawan kru gaulislam yang tetap semangat mengikuti kajian Kitab Diraasat fil Fikril Islamiy karya Muhammad Husain Abdullah. Saat itu kami membahas Bab “Kekhasan Sistem Ekonomi Islam”. Kajian selesai pukul 21 lewat sepuluh menit. Tuan rumah seperti biasa sudah menyiapkan makanan, kali ini tentu makan malam bukan makan pagi seperti biasanya. Ngobrol seputar perkembangan masing-masing dan juga gaulislam diselingi dengan ‘mempermak’ komputer teman saya dengan memasukkan beberapa software dan ebook dari laptop saya. Pukul setengah sebelas malam kami sepakat mengakhiri kebersamaan di kajian rutin tersebut.
Sampai rumah sudah pukul sebelas malam lebih. Tadinya mau mengerjakan laporan diskusi ini, eh saya baru ingat bahwa tulisan gaulislam belum saya kelarin beberapa ribu karakter lagi. Walhasil, meski mata agak sepet sudah minta jatah istirahat saya selesaikan tulisan gaulislam dan kemudian meng-uploadnya ke website gaulislam agar bisa dinikmati oleh para pembaca yang sudah rutin menyambangi website gaulislam setiap Senin dinihari untuk mendapatkan edisi teranyar setiap pekannya. Saya mulai ‘tepar’ menjelang pukul 3 pagi. Wah, berat memang. ‘Beruntung’ jadwal Senin pagi membantu distribusi gaulislam tidak ada karena edisi cetaknya sedang libur selama ujian dan menjelang liburan anak sekolah, maka saya bisa memanfaatkan waktu untuk istirahat setelah semalaman begadang. Nah baru siang menjelang sore inilah tulisan untuk liputan khusus diskusi aktual Rabu, 14 Desember 2011 lalu mulai saya kerjakan meski tetap diselingi dengan ngajar di sore hari dilanjut siaran di malam hari dan baru sampai rumah menjelang tengah malam dan tulisan baru ditengok lagi untuk kemudian dituntaskan. Itupun, semoga pembaca tidak bosan karena hampir sepertiga isinya malah berisi curhatan saya pribadi seputar terlambatnya menulis liputan khusus ini. Maaf.
Ya, diskusi aktual pekanan edisi 14 Desember 2011 ini kurang berjalan mulus. Saat menuju tempat diskusi pun musibah itu datang. Ban sepeda motor bagian belakang bocor saat melintas di depan Terminal Bubulak menuju ke Rumah Media tempat diadakannya diskusi. Nah, karena waktu sudah mepet maka saya pasti telat datang ke sana karena harus mencari tukang tambal ban di sekitar Bubulak itu. Benar saja. Sampai ke tempat diskusi saya tidak kebagian prolog karena sudah menunjukkan pukul 16: 40 WIB. Artinya saya telat 40 menit. Waduh!
Meski demikian saya berusaha mengikuti diskusi dengan seksama. Menulis yang saya anggap penting sebagai bahan tulisan ini, sambil menyimak pendapat kawan-kawan yang sudah hadir sejak awal. Pada saat itu, yang masih saya ingat adalah pernyataan Ustad Umar Abdullah di akhir pengantar untuk diskusi pekan itu, “Saat ini setidaknya ada tiga wanita yang menjadi tersangka korupsi yang sedang hangat diperbincangkan: Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti, dan Miranda Swaray Goeltom”
Seperti biasa Ustadz Umar Abdullah kemudian mempersilakan peserta diskusi untuk bertanya atau menyampaikan komentarnya.
Pertanyaan pertama disampaikan Abdullah, peserta cilik (kelas 4 homeschooling) yang biasanya juga agak lebay karena sering ikut berkomentar (yang kadang nyambung kadang tidak hehehe). Tapi yang pasti dia menjadi penggembira di acara diskusi dan semoga bisa ada yang ‘nyangkut’ juga informasinya untuk diketahui sebagai bekal wawasannya. Abdullah bertanya, “Nunun nyuap ke siapa dan kenapa dia nyuap?” Pertanyaannya sederhana tapi jawabannya yang butuh penjelasan maksimal.
Taqiyuddin Abdurrahman (ini adiknya Abdullah—kelas 1 homeschooling), juga bertanya, “Suap itu apa sih?” Ini juga pertanyaan sederhana, tapi membutuhkan jawaban pas.
Dari kalangan peserta akhwat, Fatimah NJL (siswa kelas 6 di sebuah SDIT dan juga Santri Pesantren Media) mengajukan pertanyaan: “Kenapa tema ini ditulis ‘koruptor-koruptor’ perempuan, seolah-olah banyak. Banyaknya itu segimana sih?” Fatimah penasaran.
Tak mau tinggal diam, Junnie Nishfiyanti yang menjadi Koordinator Voice of Islam juga menyampaikan pertanyaannya yang terkait dengan informasi bahwa Nunun dan Miranda sudah saling kenal terutama saat menggolkan Mirandan S Goeltom menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada Juni 2004, “Satu, apa hubungannya Nunun Nurbaeti dengan Miranda S Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia? Dua, apa keuntungan Nunun dan Miranda kalau Miranda terpilih jadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia?”
Peserta diskusi dari kalangan ibu-ibu juga ambil bagian dalam kesempatan bertanya. Eh, ada istri saya, Nur Handayani yang mengajukan pertanyaan, “Dibentuknya KPK itu ada pengaruhnya yang signifikan atau tidak (sebelum dan setelah dibentuk)? Kemudian dalam Islam sendiri lembaga apa yang berwenang menangani kasus korupsi?”
Pertanyaan terakhir datang dari istrinya Ustadz Umar Abdullah, yakni Ustadzah Latifah Musa: ‘Kenapa Abi memilih tema perempuan-perempuan koruptor? Seperti ada tendensi tertentu karena lelaki sebenarnya juga banyak yang jadi koruptor”
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya Ustadz Umar Abdullah sering memberi kesempatan kepada peserta diskusi untuk menjawab. Saya sendiri ingin menjawab, tapi saya harus fokus kepada pencatatan momen dan kesimpulan diskusi untuk bahan penulisan, jadinya kurang maksimal.
Respon dari peserta diskusi tidak ada maka pada akhirnya Ustadz Umar Abdullah sendiri yang menjawabnya. Untuk pertanyaan Taqiyuddin, jawabannya sebagai berikut, “Suap adalah pemberian seseorang kepada seseorang yang punya wewenang untuk mengambil keputusan agar keputusan tadi menguntungkan si pemberi suap. Baik pemberian tadi diberikan sebelum diambil keputusan ataupun setelah diambil keputusan,” jelasnya sambil menatap ke arah Taqiyuddn Abdurrahman yang seperinya juga agak bingung mendapat jawaban seperti itu, jika dilihat dari raut mukanya. Namun tak urung jua dia mengangguk tanda paham.
Saya sengaja menyampaikan sebuah informasi bahwa saya pernah membaca di sebuah website bahwa ada keterangan atau dalil tentang suap yang dibolehkan, yakni ketika kita terpaksa harus memenangkan perkara karena kita pada posisi yang benar dalam sebuah kasus di pengadilan. Saya sendiri cenderung memilih pendapat yang mengharamkan suap—apapun alasan dan bentuknya. Tetapi saya tetap mengajukan pendapat itu ke forum. Lalu ditanggapi oleh Ustadz Umar Abdullah, “Apakah boleh kita menyuap hakim karena posisi kita benar? Tidak boleh,” tegasnya.
Lalu Ustadz Umar Abdullah menceritakan sekilas kisah Qadhi Syuraih. Terutama yang berkaitan dengan pengadilan dan seputar keputusannya menjatuhkan sanksi kepada orang yang berperkara dengan hukum. Kesaksian sebagian saksi adakalanya meragukannya, namun dia tak kuasa menolak kesaksian yang memenuhi syarat pengadilan. Jika menemui hal ini maka Syuraih berkata kepada mereka sebelum bersaksi: “Dengarkanlah, semoga Allah memberi hidayah kepada kalian. Sesungguhnya yang menghukum orang ini adalah kalian. Sesungguhnya aku takut jika kalian masuk neraka karena bersaksi palsu, semestinya kalian lebih layak untuk takut. Berfikirlah kembali sebelum memberi kesaksian mumpung masih ada waktu.”
Jika mereka bergeming, Syuraih berkata kepada terdakwa: “Ketahuilah saudara, aku menghukum Anda atas dasar kesaksian mereka. Andai saja kulihat engkau memang zhalim sekalipun, aku tidak akan menghukum atas dasar tuduhan, melainkan atas dasar kesaksian. Keputusanku tidak menghalalkan apa yang diharamkan Allah atasmu.”
Dari kisah ini bisa diambil kesimpulan bahwa memang hakim bisa memberi keputusan salah sesuai bukti di pengadilan. “Itu sebabnya, orang yang meskipun salah tapi pandai bersilat lidah, bisa saja menang di pengadilan. Sementara orang yang semestinya berada pada posisi yang benar tapi dia tidak bisa mengungkapkan atau tidak bisa membela diri bisa saja divonis salah. Jadi, tidak perlu menyuap hakim untuk memenangkan perkara kita meskipun untuk menyelamatkan hak kita,” Ustadz Umar Abdullah melengkapi kisah Qadhi Syuraih.
Menjawab pertanyaan Abdullah,  bisa secara bersamaan dirangkai dengan pertanyaan Junnie yang memang berdasarkan fakta bahwa Nunun terlibat dalam kampanye Miranda S Goeltom menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Ya, berdasarkan pemberitaan yang marak di media massa, Nunun merupakan saksi kunci dalam mengungkap siapa sebenarnya dalang dari pelaku penyuapan terhadap anggota Komisi Keuangan DPR itu. Nunun disebut-sebut memerintahkan Ari Malangjudo untuk menyerahkan cek pelawat kepada para anggota DPR.
Jumlah cek pelawat yang dibagikan kepada para anggota Dewan itu mencapai 480 lembar dengan nominal Rp 50 juta per lembar atau senilai Rp 24 miliar. Setiap anggota dewan menerima jumlah bervariasi, mulai Rp 250 juta hingga Rp 1,5 miliar.

Pembagian cek pelawat terungkap berkat pengakuan Agus Condro Prayitno, anggota Komisi XI DPR periode 1999-2004 dari Fraksi PDIP. Agus mengakui dirinya menerima cek pelawat senilai Rp 250 juta pascapemilihan Deputi Gubernur Senior BI tahun 2004 yang dimenangkan Miranda Goeltom.
Kenapa menyuap? “Ya itu tadi, dalam rangka kampanye Miranda S Goeltom jadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia,” terang Ustadz Umar Abdullah sambil melengkapi data bahwa dari 26 yang diduga kuat terlibat, baru 2 orang yang divonis penjara.
Ustadzah Latifah Musa menyampaikan pendapatnya bahwa, menurut Adang Darajatun (Suami Nunun) istrinya itu mendapatkan fee Rp 1 Miliar karena keberhasilannya mengkampanyekan dan menempatkan Miranda S Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Menjawab pertanyaan Junnie, Ustadz Umar Abdullah berkata, “Bagi Miranda untungnya dia jadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pasti banyak duit. Pegawai bank saja gajinya gede,” ujarnya.
Melengkapi pendapat Ustadz Umar Abdullah, Ustadzah Latifah Musa berkomentar, “Peluang disuapnya juga besar. Selain itu, secara kebijakan, menjadi Deputi Gubernur Senior memiliki akses untuk mengendalikan perbankan dan itu pasti banyak celah yang bisa dimanipulasi pihak tertentu.”
“Ya, jika memang faktanya demikian, Nunun menjadi perantara Miranda ke anggota DPR. Tetap salah,” tegas Ustadz Umar Abdullah.
Menjawab pertanyaan Fatimah, Ustadz Umar Abdullah mengurut nama-nama yang sudah kadung terkenal dalam kasus korupsi akhir-akhir ini seperti: Melinda Dee, Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti, Artalyta Suryani, Mindo Rosalina, dan Miranda S Gultom,”
“Efektivitas KPK tak berjalan. Buktinya tambah banyak kasus kok.” Jawaban Ustadz Umar terhadap pertanyaan Nur Handayani. Sementara untuk mencari tahu orang-orang yang bisa jadi tersangka kasus korupsi, negara bekerja sama dengan pihak kepolisian dan kehakiman. Lalu pembahasan agak melebar sedikit, Ustadz Umar Abdullah menyampaikan bahwa, “Dalam Islam kepala intelijen negara Islam yang pertama adalah Huzaifah Ibnul Yaman (orang yang diberitahukan oleh Rasulullah ilmu-ilmu tentang kejahatan sebagaimana pernyataannya, ‘Kalo orang-orang bertanya tentang kebaikan dan bagaimana cara meraihnya. Tapi aku bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kejahatan dan bagaimana cara mencegahnya).” Hmm…
“Ya, pelacakannya oleh badan intelijen, penangkapannya polisi, pengadilannya qadhi. Bisa dihukum langsung atau bisa dipenjara. Paling ringan dikembalikan harta korupsi. Atau disiarkan keluarganya, bisa juga dihukum mati,” tegas Ustadz Umar Abdullah .
Saat menjawab pertanyaan Ustadzah Latifah Musa, Ustadz Umar Abdullah mengatakan bahwa: “Tidak ada tendensi. Anggapan bahwa jika anggota DPR banyak perempuan akan menurunkan tingkat korupsi, ternyata tidak terbukti. Justru banyak yang korupsi. Tetapi yang terbukti menurunkan korupsi adalah KEIMANAN.”
Nah, dalam kesempatan ini pula Ustadz Umar Abdullah menjelaskan sosok teladan bernama Abdullah bin Rawahah yang ditugaskan ke Khaibar untuk memungut  harta tentang akaq musaqah (akad bagi hasil untuk lahan yang sudah ada tanamannya) antara penduduk Khaibar dengan negara Islam. Ketika hendak membagi hasil kurma, maka orang-orang  Khaibar yang perempuan mengumpulkan perhiasan untuk dijadikan suap kepada Abdullah bin Rawahah (nama lengkapnya Abdullah bin Rawahah bin Tsa’labah al-Anshari al-Khazraji).
Melihat cara mereka memperlakukannya, Abdullah bin Rawahah berkata, “Hai orang-orang Yahudi! Demi Allah. Kamu semuanya adalah makhluk Allah yang aku benci! Meskipun demikian, aku tidak akan mencurangi kalian. Kalian menawarkan kepadaku barang suap, sedangkan barang suap itu haram. Dan kami membenci memakan barang suap!”
Mendengar penolakan Abdullah, orang-orang Yahudi itu berkata, “Dengan sifat itu, langit dan bumi tegak berdiri.”
Suasana senja kian terasa, dan tak seberapa lama kemudian terdengar suara adzan Maghrib. Diskusi hari itupun berakhir dengan satu kesimpulan: “Kejahatan apapun, termasuk korupsi tidak melulu dilakukan oleh kaum lelaki. Wanita pun bisa melakukannya. Bahkan sejak zaman Nabi saw. wanita yang jahat sudah banyak, wanita yang penipu juga banyak, termasuk yang hendak melakukan penyuapan dengan cara bekerjasama dengan para pria di Khaibar dalam kisah Abdullah bin Rawahah. Artinya, yang bisa mencegah hanyalah keimanan. Bukan jenis kelamin. Ini juga sekaligus membantah pernyataan bahwa jika banyak anggota DPR dari kalangan perempuan maka tidak ada korupsi. Faktanya, kini sudah terbukti bahwa banyak perempuan menjadi koruptor dalam sistem kapitalisme yang sedang berlaku saat ini.”
Akhirul keyboard, sampai jumpa pada liputan diskusi berikutnya. Semoga meski telat laporannya disampaikan ke pembaca, tetapi tidak mengurangi bobot informasi dan solusi yang ditawarkan dari diskusi aktual yang digelar tiap pekan itu. Insya Allah. [OS]

Misteri Politik Iran

Oleh: Lathifah Musa
Selasa sore biasanya Pimpinan Pesantren Media yang sekaligus Direktur Media Islam Net, sekaligus juga suami saya akan mengajukan pertanyaan rutin: Apa topik Diskusi Aktual Rabu besok? Kali ini saya menjawab: Wah, tanyakan saja pada UstadzO. Solihin. Belum terpikir topik apapun yangbikin penasaran.
Dengan santainya, Beliau yang menjadi Moderator Tetap Diskusi Aktual ini mengatakan: Wah, tidak bisa ya. Topik diskusi adalah tanggung jawab Pengasuh Rubrik Editorial.
Ya sudahlah, demi menjalankan kesepakatan pembagian tupoksi (tugas pokok divisi) masing-masing. saya pun sibuk berpikir singkat, kira-kira apa yang layak didiskusikan.
Yang namanya diskusi, paling seru adalah membahas sesuatu yang masih samar-samar  dan tentunya aktual. Bila sesuatu itu sudah jelas, kasat mata, faktanya gamblang dan terpampang, maka tak perlu lagi didiskusikan. Pembahasan penting selanjutnya adalah masalah solusi, cara menyelesaikan atau apa yang bisa dilakukan menyangkut sarana yang paling tepat.
Persoalan-persoalan dalam negeri seperti korupsi, perampasan sumber daya alam, kekayaan melimpah versus kemiskinan mayoritas rakyat, ironi negeri demokrasi ini, Ambon yang masih membara tetapi selalu ditutupi, dan berbagai statemen anggota DPR yang membuat miris hati, adalah fakta nyata persoalan negeri ini.
Sembari sibuk memikirkan belanja apa untuk menu harian para santri dan anak-anak, yang mestinya cukup lelah digembleng jadwal harian dari Para Ustadznya yang “sangat  tega” dalam menghujani mereka dengan berbagai macam tugas, saya teringat tulisan harian Kompas, Senin, 21 November 2011. Tulisan ini masih menimbulkan banyak tanya dalam benak saya.
Penulisnya Bapak Sayidiman Suryohadiprojo, Mantan Gubernur Lemhanas. Dengan judul pertanyaan: Jadikah Serangan AS-Israel-Inggris ke Iran? Tulisan Beliau pun ditutup dengan pertanyaan: Jadikah AS-Israel-Inggris menyerang Iran?
Mestinya Bapak Sayidiman pun juga masih menyimpan pertanyaan. Analisa Beliau terpaparkan dengan berbagai dugaan yang bisa ya, bisa tidak.
AS dalam hubungannya dengan Iran, selalu menyimpan sesuatu yang tak pernah dipaparkan secara gamblang, alias ada yang disembunyikan. Skandal Iran-Contra,  Misi Rahasia CIA, Iranian Gate, menunjukkan bahwa apa yang di permukaan bukanlah yang sebenarnya. Sesumbar embargo senjata AS, menutupi skandal kesepakatan di baliknya.
Membaca analisa Bapak Sayidiman, kita akan bertanya: Jadi seriuskah AS-Inggris-Israel? Terhadap Iran pun, muncul banyak pertanyaan: Seriuskah Iran? Bukankah  ancaman tersebut juga telah disampaikan beberapa tahun yang lalu? Mengingat kasus skandal Iran-Contra, yang diduga kuat mempertemukan antara pemangku politik tertinggi Iran saat itu dengan Pejabat Tinggi AS dan CIA, bagaimana strategi politik Iran terkini? Fakta yang memunculkan keraguan terhadap Presiden Iran sekarang, yaitu Mahmoud Ahmadinejad, banyak diungkapkan oleh media massa yang rajin menyampaikan info berita Islam seperti: Eramuslim.com, Republika.co.id, Hidayatullah.com, Voice Of al-Islam, dan lain-lain.
Ketika saya menyampaikan rasa penasaran saya terhadap politik Iran, suami saya pun langsung memutuskan: Oke, kita diskusi tentang “Misteri Iran!”
Wah judulnya kok seperti film horor? Tak apalah, yang penting sudah ada judul . Saya dan seluruh kru MediaIslamNet punya tugas menyiapkan bahan. Yang tidak mampu menyiapkan bahan, ya menyiapkan pertanyaan. Belum diputuskan judul resmi apa yang beredar via SMS, karena saya belum dikirimi SMS. Tapi Misteri Politik Iran memang semakin membuat penasaran. Maklum, melibatkan senjata Nuklir alias senjata pemusnah massal
Kini selanjutnya  tugas wajib suami saya, Ustadz Umar Abdullah,  untuk membuat diskusi serius menjadi cair. Tugas penting Ustadz. O. Solihin menyimpulkan serta menuliskan hasil liputannya. Tugas  saya sore ini yang juga sangat penting adalah menyiapkan jagung manis rebus dan ubi goreng (ada request untuk digoreng saja, jangan direbus seperti biasanya) untuk membuat diskusi lebih terasa nyaman dan renyah dikunyah. Dan ternyata itulah yang selalu ditunggu-tunggu oleh para peserta diskusi yang bertugas sebagai penggembira. Betul tidak anak-anak![]


mediaislamnet.com

“Kita Ini Sudah Biasa Hidup Miskin”

Oleh: Lathifah Musa
Seorang warga miskin di pinggir rel kereta api | Foto: ANTARA
Ada yang menarik dalam sesi mengajar saya di kelas satu  sebuah SMP (Islamic Boarding School) Bogor. Pelajaran Bahasa Indonesia selalu dibuka dengan pertanyaan: Apa berita menarik minggu ini? Maklum, mengikuti berita nasional menjadi salah satu tugas rutin mingguan.
Karena kebetulan saya sedang mengajar kelas ikhwan, hampir semua menjawab: Indonesia Menang Lawan Thailand! Selanjutnya kelas pun riuh dengan pembahasan kemenangan Timnas dalam pertandingan-pertandingan sebelumnya melawan Singapura dan Kamboja.

Kemudian saya bertanya, “Apa kalian tidak tahu bahwa dalam minggu ini Kepala Negara kita berpidato dalam sebuah Pertemuan Tingkat Tinggi Negara-negara se-Asia Pasifik?”  Saya sedikit menyinggung tentang Pidato SBY dalam Forum Bisnis APEC tanggal 15 November 2011. “Tahukah Antum semua, bahwa Indonesia adalah negara yang sanggup bertahan dari krisis global?”
Di kelas satu ini, mereka semua sudah tahu bahwa saat ini AS sedang dalam krisis utang yang memalukan dan Uni Eropa sedang habis-habisan dihajar krisis yang sama. Tentulah dipandang membanggakan oleh pemerintah, ketika pengusaha-pengusaha multinasional menyimak dengan tekun penjelasan SBY tentang resep keluar dari situasi krisis ala Indonesia.
Tiba-tiba salah seorang murid saya yang berkacamata mengacungkan tangannya. “Rakyat Indonesia tahan krisis, karena sehari-harinya sudah biasa miskin, Bu!”, katanya. “Jadi tidak ada bedanya, krisis atau tidak krisis. Karena sehari-harinya sudah biasa krisis.” Sebenarnya ia bermaksud membantah penjelasan saya tentang Indonesia yang tidak krisis.
“Makan dengan kerupuk dan kecap juga sudah nikmat.” Temannya yang di sebelahnya nyeletuk. Saya mengerutkan kening, kemudian mempertanyakan, benarkah mereka biasa makan hanya dengan kerupuk dan kecap. Maklum saja, namanya juga SMP Boarding. Tentu tidak ada menu yang hanya dengan kerupuk dan kecap.
Murid yang bersangkutan pun senyum-senyum. Tapi tampaknya ia jujur, karena selanjutnya ia bicara tentang nikmatnya makan dengan kerupuk terung (pabriknya ada di dekat sekolah mereka) dan kecap dengan teman sebelahnya yang  mengangguk-angguk. Membayangkan kerupuk terung pabrik dekat sekolah yang disantap dengan kecap memang nikmat, khususnya di saat-saat jam lapar seperti siang itu.
Kalau sudah begitu, papan tulis pun terpaksa saya ketok-ketok untuk menghentikan perbincangan tentang makanan murah yang nikmat, resep rakyat bertahan dalam situasi krisis. Breaking News  rutin lima belas menit ditutup. Pelajaran berlanjut dengan sesi mendengar. Siswa-siswa saya minta diam sejenak untuk melatih pendengarannya mendengar suara selain suaranya sendiri. Maklum kebanyakan manusia sekarang lebih suka mendengar suaranya sendiri.
Kesempatan hening membuat saya berpikir komentar-komentar siswa-siswa saya tadi. Jadi siapa bilang kita kaya dan bebas krisis. Kenyataannya kemiskinan masih terasa dan situasi krisis telah bersahabat dengan kehidupan rakyat sejak lama. Sebenarnya Presiden  tak layak bicara tentang kehebatan-kehebatan timnya. Ketahanan terhadap krisis yang sesungguhnya itu ada pada seluruh rakyat. Mayoritas rakyat Indonesia yang miskin namun bermental baja dan berhati pualam.
Presiden seharusnya bicara di hadapan pemimpin-pemimpin negara se-Asia Pasifik tentang kehebatan rakyat Indonesia yang antara lain:
(1)        Nrimo. Menyukuri hidup apa adanya. Bila harga beras naik tak terjangkau, maka mereka mengurangi jatah makan, mengganti menu dengan singkong atau ubi yang lebih murah. Bahkan ada pula yang telah menyumpal perutnya dengan nasi aking. Lebih tragis lagi, di salah satu pelosok negeri ini, ada rakyat yang sanggup memakan biji buah asam. Bukan karena suka, tetapi karena memang sudah tak ada lagi yang dimakan.
(2)        Mayoritas masyarakat Indonesia yang miskin ini biasa hemat. Nasi dengan lauk kerupuk, nasi dengan lauk sayur dan nasi dengan lauk kecap, juga sudah biasa. Pedagang yang juga rakyat menyiasati dengan membuat kerupuk dan kecap yang rasanya lebih nikmat.
(3)        Untuk menyiasati kenaikan harga-harga, rakyat bisa berkreativitas. Ketika harga daging ayam atau ikan melambung, muncullah menu telor penyét. Ketika harga telor pun melambung, muncullah menu tempe penyét. Harga beras mahal, menjamurlah sega kucing dengan lauk yang hanya sejumput-sejumput. Lidah masih bisa bergoyang walaupun anggaran makan terbatas.
(4)        Seharusnya pemerintah berterima kasih karena rakyat kecil tak kenal pasar saham, tak kenal investasi dalam bentuk dollar, tak punya utang di bank. Tahun 2008, penipuan ala Madoff yang membangkrutkan dan memukul perekonomian AS tidak terjadi di sini. Di sini hanya ada Century yang sampai kini masih menyimpan misteri.
(5)        Rakyat kecil terbiasa menahan lapar. Mayoritas rakyat yang beragama Islam terbiasa puasa, mulai dari puasa Ramadhan, puasa Senin Kamis, hingga puasa Daud (berselang seling hari). Ada rekan saya yang sengaja berpuasa Daud, karena memang benar-benar sedang kekurangan.
(6)        Rakyat kecil mudah bersyukur dan bersedekah. Bagi kaum muslimin, Rasulullah Saw mengajarkan makanan untuk berdua bisa dimakan bertiga. Makanan bertiga bisa dimakan bersama-sama. Rakyat kecil tak pernah membiarkan rakyat kecil lainnya kelaparan. Sedekah membuat kehidupan yang secara hitungan statistik kurang menjadi cukup dan barakah.
(7)        Rakyat kecil banyak bersabar, walau kebijakan pemerintah banyak yang  tak bijak sehingga tak layak lagi disebut kebijakan. Kehidupan kian sulit walaupun kata pemerintah ekonomi terus tumbuh. Kenyataannya subsidi banyak dihapus, bantuan banyak dikorup, kekayaan alam milik bangsa dirampok negara lain. Penguasa lebih suka melayani pemimpin penjajah daripada membuat rakyat lebih sejahtera.
Inilah sebenarnya potensi besar bangsa ini. Semua ini terpancar dari karakter keIslaman yang masih tersisa.
Sayangnya kita semua masih bodoh. Sekiranya kita menggunakan seluruh karakter keIslaman kita, seperti menjalankan perekonomian yang Islami, menghapuskan riba dan segala bentuk perdagangan yang fiktif, memberantasan korupsi yang adil dan tak tebang pilih, dan bagaimana menjadi pemimpin-pemimpin muslim dengansemangat jihad membela kedaulatan bangsa ini dalam rangka menyelamatkan aset-aset negeri yang terampas dan harga diri yang terinjak-injak. Dengan menampilkan seluruh karakter keIslaman mayoritas kita, niscaya tak sulit untuk meretas jalan menuju Indonesia Negara Adikuasa.
Bagi rakyat kecil, statemen-statemen tentang keberhasilan Indonesia dalam Forum Tingkat Tinggi itu menjadi begitu kering, kosong dan hampa. Seperti Stand Up Commedy yang bahkan untuk tersenyum getir saja sudah tak bisa. Mengenaskan![]

“Sisi Lain” Maraknya Bom Bunuh Diri

Oleh Lathifah Musa
Secara umum media massa nasional membahas bahwa  Pakistan adalah negara tempat tumbuh suburnya kaum teroris. Hal ini beranjak dari data yang dirilis oleh South Asia Terrorism Portal dan Pew Research Center (2011), bahwa sejak tahun 2001, setelah Pakistan bergandengan tangan dengan Amerika Serikat memerangi terorisme, sudah hampir 5000 orang tewas akibat serangan bom bunuh diri.
Kompas cetak, 28 September 2011, dalam tajuk rencana yang menyorot isu internasional membahas bahwa setelah Islamabad bermitra dengan Washingthon memerangi Taliban dan Al Qaeda, terjadi 335 bom bunuh diri di Pakistan. Sebelum tahun 2001, hanya ada satu bom bunuh diri. Sebuah lonjakan yang dahsyat. Jumlah korban pun meningkat mencengangkan, dari satu menjadi hampir 5000 orang tewas.
Hampir semua media massa nasional menyodorkan solusi agar negara menutup peluang tumbuhnya radikalisme. Bom bunuh diri dipandang identik dengan ideologi radikal.
Dengan analisa dan solusi yang semacam ini, jelas mengabaikan data bahwa peningkatan serangan terorisme berkorelasi positif dengan masuknya campur tangan Asing ke sebuah negeri muslim.
Bukankah terjadi peningkatan kekerasan, justru setelah Pakistan bergandengan tangan dengan Amerika Serikat. Bukankah lonjakan dahsyat serangan bom bunuh diri, terjadi setelah George W Bush mengumumkan serangan terhadap Afghanistan dan Iraq pasca peristiwa pemboman gedung kembar WTC di New York?
Sisi lain pelajaran dari Pakistan yang selayaknya juga dipetik oleh umat Islam Indonesia adalah, mengapa sekarang bom bunuh diri menyerang masyarakat kita sendiri? Mengapa serangan ini tertuju kepada kepolisian? Adakah kerjasama antara Amerika Serikat dengan Indonesia dalam Densus 88 pada periode yang lalu memiliki korelasi terhadap peningkatan terorisme yang menimpa warga negara?
Upaya Amerika Serikat sejak tahun 2001 menggelontorkan dana yang tidak sedikit kepada aparat negeri-negeri muslim sesungguhnya dalam rangka menggeser pola serangan kelompok-kelompok bersenjata muslim yang awalnya memusuhi dan menyerang kepentingan Amerika Serikat menjadi serangan mereka terhadap pemerintah dan aparatnya sendiri. Artinya perang terhadap Amerika Serikat dan kepentingannya kini bergeser menjadi perang terhadap pemimpin negeri muslim itu sendiri. Sebuah cara jitu untuk melemahkan negeri-negeri muslim, di saat Amerika Serikat sendiri sedang menghadapi krisis ekonomi yang cukup berat.
Bagi Indonesia sendiri, persoalan dana proyek yang sangat besar kerapkali membutakan mata dan hati. Korupsi dan manipulasi dana proyek telah menjadi penyakit kronis bangsa ini. Persoalannya adalah, ketika mata dan hati telah dibutakan oleh timbunan dollar, maka kepentingan masyarakat tak lagi jadi pilihan. Yang penting adalah mengalirnya dollar ke kantong-kantong oknum petinggi yang tidak lagi  punya nurani.
Konon pasca Amerika Serikat menghentikan kucuran dananya, pemerintah kini bergandengan tangan dengan Australia dalam operasi anti terorisme. Walhasil, sepertinya isu terorisme memang sengaja dipelihara! Wallahu A’lamu bish Showab.[]

Membasmi Budaya Plagiarisme

Program: Voice of Islam | Rubrik: Editorial | Narasumber: Ir. Lathifah Musa | Tema: Membasmi Budaya Plagiarisme
Salah satu berita yang menyita perhatian media massa belum lama ini adalah kasus seorang Guru Besar di sebuah Universitas Negeri, terbukti melakukan plagiarisme. Apa itu plagiarisme? Jangan-jangan ini juga marak di sekitar kita. Dan bagaimana mencegah dan membasmi plagiarisme agar tidak menjadi budaya, kita akan membahas dalam tema MEMBASMI BUDAYA PLAGIARISME bersama Usth Ir Lathifah Musa. Beliau adalah Pemimpin Redaksi Majalah Udara Voice Of Islam
Ustadzah, apa yang dimaksud dengan plagiarisme?
Plagiarisme itu kata lainnya adalah menjiplak atau mencontek. Tetapi menconteknya bukan sekedar kata atau kalimat atau paragraf, namun sudah satu judul atau tema karya orang lain. Dan kemudian karya tersebut diakui sebagai miliknya.
Sebenarnya kasus plagiarisme yang menimpa seorang Profesor, Guru Besar Universitas Negeri itu seperti apa sih?
Ini berita sekitar tanggal 25 Agustus 2011. Tetapi di kalangan akademik masih menjadi perbincangan hingga saat ini. Saat itu seorang guru besar Universitas Riau, seorang Profesor terbukti melakukan plagiarisme dalam membuat buku berjudul Sejarah Maritim. Buku tersebut merupakan jiplakan dari buku Budaya Bahari karya Mayor Jendral (Marinir) Joko Pramono, terbitan Gramedia tahun 2005. Dalam sidang Komisi Etika ditambah unsur Guru Besar Senior di Universitas tersebut, profesor tersebut dinyatakan bersalah melakukan plagiarisme.
Bagaimana kasus tersebut bisa terungkap?
Kasus ini terungkap karena laporan dari salah seorang mahasiswa yang menemukan adanya kemiripan antara buku sejarah maritim dengan buku budaya bahari. Penulis buku budaya bahari sendiri juga menemukan bukunya dijiplak kira-kira dua bulan yang lalu. Kemudian sang penulisnya melaporkan kepada Dirjen Dikti, Rektor Universitas Riau dan Gubernur Riau.
Ustadzah, konon katanya yang bersalah melakukan copy paste karya tersebut adalah asisten sang profesor, yakni seorang dosen di Universitas yang sama. Jadi sang profesor tersebut sebenarnya tidak tahu kalau asistennya menjiplak buku orang?
Tetap saja kesalahan terbesar adalah pada guru besar tersebut. Berarti selama ini yang menulis buku adalah asistennya, atau mungkin muridnya atau mungkin mahasiswanya yang kemudian diaku menjadi karyanya. Kalau sekedar mengedit dan meng-acc tidak terlalu sulit. Yang sulit adalah melakukan risetnya. Seringkali terjadi memang, penelitian atau hasil skripsi seorang mahasiwa kemudian diaku menjadi karya dosen pembimbingnya. Dosen tersebut hanya melakukan penulisan ulang dalam bahasa Inggris kemudian mengirimkannya ke jurnal internasional atau ajang lomba karya tulis internasional. Kalau kemudian menjadi juara, maka gelar tersebut dimiliki oleh sang dosen pembimbing. Sementara mahasiswa yang melakukan riset di lapang tidak tahu menahu masalah ini. Ini adalah bagian dari ketidakjujuran akademik. Inilah yang mungkin terjadi pada guru besar tersebut. Guru besar tersebut ternyata dikenal sangat produktif menulis buku. Ia bahkan pernah mendapat piagam dari Musium Rekor Dunia Indonesia (MURI) tahun 2008 atas karyanya menerbitkan 66 buku dalam tempo lima tahun. Salah satu dari 66 buku yang masuk museum rekor MURI itu adalah Sejarah Maritim.
Ustadzah, sepertinya karena nila setitik rusak susu sebelanga. Itulah yang terjadi pada guru besar tersebut. Karena bisa jadi 65 buku yang lain adalah karyanya. Bagaimana menanggapi statemen ini?
Sekarang publik menjadi ragu, apakah benar 65 buku yang lain adalah karyanya? Bagaimana kalau itu adalah karya asisten-asistennya? Bagaimana kalau itu adalah karya mahasiswa-mahasiswa yang  dibimbingnya? Bagaimana kalau itu adalah hasil plagiarisme juga? Keraguan ini wajar karena intelektualitas adalah karakter. Ketika ditemukan ketidakjujuran dalam satu aspek akademik, maka itu tentu bersumber dari karakter sesungguhnya personal tersebut. Seorang intelektual, ia tidak akan tinggal diam terhadap nilai kejujuran karyanya. Kalau sampai guru besar tersebut tidak menyadari bahwa buku sejarah maritim yang disusun asistennya adalah jiplakan buku orang lain, maka itu keterlaluan. Kalaupun itu bukan hasil jiplakan, maka itu juga keterlaluan, karena berarti juga bukan karyanya, melainkan karya asistennya. Berarti pekerjaan menulis buku baginya sekedar menulis pengantar dan judul saja.
Bagaimana ustadzah memandang fenomena plagiarisme di sekitar kita?
Sepertinya sudah menjadi budaya. Terbukti di dekat universitas negeri atau swasta ada plang menerima jasa penulisan skripsi. Bahkan tesis pun bisa dipesan.  Saat ini banyak orang sekolah untuk mengejar gelar. Karena untuk mendapatkan legalitas, sebuah sekolah misalnya sang kepala sekolah harus punya gelar S2. Akhirnya kepala sekolah pun mengejar gelar S2, sekedar sekolahnya mendapat legalitas. Untuk kenaikan pangkat, jabatan, gaji dan tunjangan, maka seorang dosen harus memiliki karya-karya. Maka dikumpulkanlah karya-karya dengan gagasan apa adanya, sekedar mendapatkan sertifikat. Intelektualitas yang sesungguhnya menjadi hilang. Kalau dulu yang penting adalah ilmu, orang tak peduli dengan secarik kertas. Tetapi sekarang bergeser menjadi secarik ijazahlah yang terpenting. Ilmu bukan lagi yang utama. Kenapa? Karena dengan ijazah, gaji bisa naik. Kalau ilmu, belum tentu gaji naik.
Ustadzah, bagaimana mencegah berkembangnya budaya plagiarisme?
Pertama, menanamkan karakter kejujuran.  Orang yang tidak jujur, tidak layak menjadi intelektual atau ilmuwan. Karena bisa-bisa dia berbohong dalam menyampaikan ilmu. Akibatnya bisa fatal. Kedua, menghargai ilmu dan memahami makna berilmu yang sesungguhnya. Ketika seseorang menghargai ilmu, maka ia akan bisa membedakan mana orang yang berilmu dan mana yang bukan. Gelar yang berderet tidak akan bisa menipunya. Penghargaan yang terpajang juga tidak akan menyilaukannya. Orang yang memahami ilmu akan bisa memecahkan masalah dan menjawab berbagai persoalan terkait ilmunya. Seseorang yang gelarnya berderet, jabatannya macam-macam, tetapi ketika ditanya ilmunya kosong, maka derajadnya akan terpuruk. Sementara seorang tanpa gelar dan jabatan, tetapi bisa memecahkan masalah orang lain dengan ilmunya, maka derajadnya akan meningkat. Ilmu bagaikan cahaya. Ia akan menaikkan derajad orang yang memilikinya. Untuk itu harus ditanamkan pada diri kita, bahwa kewajiban kita adalah menuntut ilmu, bukan mencari ijazah atau gelar.[]